← Back to portfolio

Matthew Isaac Cohen: Mengambil Jalan Ikut Melestarikan Wayang

Published on

Zaman boleh berubah. Hal baru boleh jadi menggantikan hal yang lama. Namun seni tradisi yang mengakar dalam nadi dan gerak hidup rakyat tak begitu saja bisa dicabut. Dia akan tetap ada meski intensitasnya tak lagi sekuat dulu.

Hal ini nampaknya yang diyakini oleh seorang profesor sekaligus dalang asal Amerika Serikat Matthew Isaac Cohen (52) terhadap wayang kulit gaya Cirebonan. Belajar sejak awal dekade 90, pria yang juga menjabat sebagai guru besar di Royal Holloway University of London ini menilai masih ada kepercayaan masyarakat Cirebon yang begitu kuat terhadap cerita pewayangan.

Ditemui di sela-sela roadshow pementasan wayang Cirebon di sepuluh titik yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sejak 27 Juli sampai 10 Agustus 2018, Matthew menyebut kalau wayang bagi masyarakat Cirebon cukup hidup. Dia yang pernah tinggal di Cirebon selama lebih dari delapan tahun untuk meneliti dan mempelajari wayang menilai, kesenian ini punya basis rakyat terutama di desa-desa.

”Seperti panen subur, berkah buat perikanan, menyembuhkan orang, mengeluarkan setan. Jadi saya tahu di sini wayang adalah seni rakyat,” kata Matthew di Cirebon, Kamis (2/8/2018).

Oleh karena itu, wayang masih dan akan sangat intensif untuk menyebarkan pesan-pesan kebaikan. Dalam lakon yang dia mainkan dalam salah satu pagelarannya di roadshow ini misalnya, dia menyitir tentang pentingnya menuntut ilmu dengan kisah utama pewayangan dari cerita Mahabharata.

Menurut dia, masyarakat kawasan Pantai Utara masih banyak yang belum sadar akan pentingnya pendidikan. Contohnya mereka tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini selaras dengan informasi Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon pada Juli 2018 yang menyebut 40 persen masyarakat Cirebon tidak melanjutkan sekolah ke SLTA karena faktor ekonomi dan kurangnya motivasi.

“Lakon memang harus disesuaikan dengan situasi. Saya rasa di Pantura (pendidikan) masih kurang. Kalau kita bisa ceritakan tentang pendidikan mungkin bisa ada kesadaran. Masyarakat di sini masih mau dengar isi cerita,” kata dia.

Peran dalang yang menjadi sentral dari pagelaran wayang pun di Cirebon masih terasa tajinya. Menurut Matthew meski jumlah panggung dalam setahun para dalang di Cirebon sudah tak seramai dulu, tetapi masih bisa menghidupi mereka. Baik yang sekadar cukup hingga berlebih.

“Wayang kulit masih bertahan. Dalang Purjadi misalnya dia dalam setahun punya 70 sampai 100 panggung, Haji Rusdi ada 100 sampai 150 panggung dengan fee yang cukup besar. Yang lain ada juga yang di atas seratus. Dulu waktu saya belajar memang lebih banyak, ada yang sampai 300 panggung setahun,” kata dia.

Lewat Gamelan

Menarik waktu ke tahun 1987, ketika Matthew muda mengenal kesenian gamelan di Boston Village Gamelan, Amerika Serikat. Rasa penasaran yang tinggi membuatnya berangkat ke Indonesia lewat beasiswa Fullbright pada 1988. Institut Seni Indonesia Solo jadi pilihannya.

“Tahun 80-an di Amerika banyak percampuran antara budaya Asia dan Amerika. Baik di makanan, fesyen, apalagi keseninan. Saya ingin tahu bagaimana awalnya musik ini dan diarahkan belajar wayang di ISI,” kata Matthew.

Dari kesempatan itu, Matthew mulai mencintai dunia wayang. Menurut dia, dalang adalah ruh dari pagelaran yang bertindak sebagai pencerita, aktor, sutradara, pengarah musik, bahkan memainkan peran ritus. Dua tahun memainkan gaya Solo, dia kemudian merambah ke gaya Cirebonan untuk penelitian S3-nya.

“Saya ambil Cirebon karena di Solo sudah banyak peneliti. Sedangkan Cirebon belum pernah diinjak. Saya sudah belajar wayang kulit di Solo, itu gaya dominan di luar negeri. Kalau wayang kulit Cirebon, tadinya aku pikir ora kaanggo, tapi dorongan dari teman-teman dan dalang senior Cirebon akhirnya saya diminta main,” ujarnya mengenang.

Pada wayang kulit Cirebon juga akhirnya dia menemukan hal-hal spontan yang tak dia temui dalam wayang Solo. Seperti penonton yang bisa sangat dekat dengan panggung, perbedaan struktur cerita, dialog, dan komposisi gamelan.
“Teman-teman dari Inggris yang saya ajak untuk ikut tampil di roadshow ini pun kaget dengan wayang Cirebon. Ada variasi kembangan, hubungan dengan penonton, ini semuanya baru. Wayang solo itu sudah digarap oleh dalang, dilatih, itu yang ditonton. Kalau di sini permintaan lagu jalan terus, sering interupsi, ya gitu kalau di Cirebon,” ucap dia. 

Pengalaman mengenai spontanitas penonton Wayang Cirebon pernah dialaminya saat belajar mendalang dulu. Saat itu dia tampil siang di daerah Bedulan. Saking spontannya penonton, dia sampai mau diarak dari panggung.
Wayang Cirebon punya tiga lakon yakni galur yang merupakan lakon pokok yang akarnya dari Mahabharata lakon wakuncarangan yang dibikin mendadak atas permintaan tuan hajat minta, dan lakon serepeng yang menggabungkan antara keduanya. Di Cirebon, punakawan ada sembilan berbeda dengan Solo yang hanya ada tiga atau empat.

“Di sini Semar ada anak dan cucunya, ada adik ipar. Jadi satu keluarga besar. Setiap instrumen juga ada main sendiri dan spesifik,” ujar dia.

Lewat setiap pengalaman ini, dia yang awalnya sering canggung di atas panggung pun semakin berani dan menikmati perannya sebagai dalang. Dia pun kembali mengingat masa-masa awal dia mendalang dengan menggunakan Bahasa Cirebonan.

“Di Solo dulu saya pakai teks, tapi sama teman-teman di sini di-ece, harus langsung saja. Ya akhirnya belajar lewat transkrip dari kaset, atau ada buku yang saya kumpulkan dari dalang. Mereka tulis tangan saya transkrip lagi. Jadi saya bisa belajar bahasa dengan sangat dekat,” katanya.

“Lama-lama stage nerv itu hilang. Ada kenikmatan apa lagi saat kumpul sama teman-teman,” ucap dia menambahkan.

Dia pun menyadari kalau masa sekarang lewat digitalisasi media sangat banyak perubahan yang terjadi tak terkecuali pada wayang. Jika dulu wayang bisa disaksikan di TV, kini lebih canggih lagi lewat Youtube. Bahkan ada wayang cilik di Cirebon yang mempelajari wayang gaya sabetan Solo lewat laman tersebut.
Dia menilai di satu sisi hal ini bagus karena menambah referensi, tetapi jika tak diarahkan bisa jadi ciri khas lokalnya menghilang. Belum lagi sabetan dalang muda yang cenderung masih kasar bisa merusak wayangnya sendiri kalau tak diajarkan dengan baik.

Sementara di luar, di kampusnya mengajar, ketertarikan pada wayang mulai tinggi. Dalam mengajar, biasanya dia memberi teknik dasar seperti bagaimana itu kayon, cara memegang wayang dan seperti apa hubungannya dengan irama. Setelah paham, dia membebaskan anak muridnya yang belajar dalam kelompok untuk berkreasi.

Karena bagaimana pun caranya, wayang harus lestari. (Muhammad Irfan/PR)