← Back to portfolio

Nani Nurani, Perempuan Yang Dituduh

Published on

Nani Nurani, tak menyangka penampilannya di ulang tahun Partai Komunis Indonesia 51 tahun lalu akan berdampak besar pada jalan hidupnya. Perempuan 75 tahun yang saat itu tampil di Gedung Pertemuan Umum Cianjur menyanyikan lagu “Sekar Manis” itu, sampai sekarang harus kehilangan banyak haknya sebagai warga negara. Nani dituduh PKI.

Nani yang menjadi pembicara pada acara Simposium Nasional Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta Jakarta, Senin (18/4/2016) menuturkan, kepindahannya dari Cianjur ke Jakarta tak lama setelah penampilannya di ulang tahun PKI, malah dicurigai sebagai bentuk keterlibatannya dalam Gerakan 30 September. Nanti memang tak ditangkap saat itu juga. Namun, di kampung halamannya di Cianjur, tuduhan keikutsertaannya dalam operasi di Lubang Buaya sudah merebak.

“Saya enggak ngerti kenapa enggak ada yang nangkap saya di Jakarta. Tahun 1968 saya pulang ke Cianjur untuk merayakan Idul Fitri, barulah saya ditangkap. Dituding ikut PKI lah, ke Lubang Buaya lah, segala macam,” kata Nani.

Padahal, Nani tahu tentang PKI saja tidak. Nani yang dibesarkan dari keluarga feodal dan menjaga jarak dari kegiatan politik, hanya tahu dirinya diundang untuk menyanyi. Setelah itu ia tidak tahu apa-apa.

“Kalau lah itu yang dianggap sebuah dosa, ya keterlibatan saya dengan PKI hanya sebagai Pegawai Dinas kebudayaan DT II Cianjur yang diminta menyanyi di acara PKI. Setelah itu enggak tahu. Lagi pula waktu itu PKI kan partai resmi,” ucapnya.

Pasca penangkapan di Cianjur, Nani pun harus berpindah-pindah lapas. Perempuan yang masih terlihat bugar di usia senjanya ini bercerita menghabiskan masa penahannannya di Gedung Ampera Cianjur selama sebulan, kemudian dipindah ke CPM Bogor selama sepekan, ke CPM Guntur dua pekan, hingga menghabiskan tujuh tahun masa mudanya di Bukit Duri Jakarta.

“Beruntung kalau penyiksaan fisik secara langsung tidak. Tapi melihat dan mendengar ya sering. Di Cianjur, tempat saya menginap itu ya ruang penyiksaan,” ucapnya.

Tujuh tahun hidup di balik jeruji tanpa proses peradilan, Nani pun dipulangkan.Tahun 1976 ia disumpah bebas penuh. Namun kenyataannya kehidupannya tetap dibatasi. Kartu Tanda Penduduknya ditandai, harus melakukan wajib lapor, hingga larangan bepergian ke luar negeri.

“Pengalaman ini menyisakan trauma untuk saya. Saya baru ini saja bisa membuka diri lagi pada orang lain. Tapi untuk percaya, saya masih susah. Saya takut ada anggapan “bekas PKI”,” ucapnya.

Saat ini, diskriminasi yang ia alami pun tak banyak berubah. Upaya merehabilitasi namanya menyusul kemenangannya di Pengadilan atas tuntutannya kepada Kecamata Koja, DKI Jakarta untuk mendapat KTP seumur hidup pada 2008 lalu belum benar-benar membuahkan hasil. Cap PKI itu masih ada.

“Saya menang pengadilan tahun 2008 untuk mendapat KTP Seumur Hidup saya. Tapi lucunya ketika saya mau merehabilitasi nama saya di Mahkamah Agung, pengacara negara bilang saya menang di Kecamatan Koja, bukan di Indonesia, sehingga upaya saya tak bisa dilakukan. Lantas saya ini orang mana?,” ucapnya seraya berharap simposium ini bisa memberikan rasa aman dan perhatian untuk para korban. “Jangan ada lagi diskriminasi.”

Nani mungkin tak sendiri. Di luar sana masih banyak Nani lain yang dipaksa mengaku dan bertanggungjawab atas tindakan yang tidak pernah mereka lakukan. Peneliti LIPI dan sejarawan Indonesia Asvi Warman Adam membenarkan jika pada masa itu sangat banyak orang yang ditahan bahkan dieksekusi tanpa proses peradilan yang jelas. Tak heran jika tragedi 1965 layak disebut sebagai pelanggaran HAM berat karena jangka waktu, tempat, pelaku, dan korbannya benar-benar konkrit. Belum lagi diskriminasi pada anak turunan orang yang diduga PKI, pembunuhan di beberapa daerah dan pencabutan warga negara yang membuat beberapa orang harus mencari suaka dari satu negara ke negara lainnya.

“Menurut saya kasus 65 ini kasus kekeliruan kebijakan pemerintah yang bisa dituntut di Pengadilan HAM Adhoc,” kata Asvi.

Dengan serangkaian alasan itu maka sudah seharusnya negara bertanggung jawab. Menurut Asvi, tanggung jawab itu bisa dilakukan dengan permintaan maaf dari pemerintah pada korban dan rehabilitasi korban terutama Presiden Soekarno. Soalnya, Tap MPRS No 33 Tahun 1967 menyatakan Presiden Soekarno ikut membantu gerakan PKI.

“Rehabilitasi harus dilakukan agar stigma tidak terjadi lagi. Terlepas itu golongan A, atau B, atau C yang jelas harus ada rehabilitasi,” ucapnya seraya menuturkan perbaikan sejarah pun perlu dilakukan. “Karena belum ada lagi versi resminya.”

Ketua Sekretariat Bersama 1965 Winarso mengatakan hal yang lebih diharapkan oleh para korban 1965 saat ini adalah tanggung jawab dari pemerintah. Meski tanpa permintaa maaf, hendaknya pemerintah memenuhi hak korban dan pengakuan negara atas pelanggaran HAM berat pada 1965-1966

“Selain merehabilitasi nama baik para korban, sudah selayaknya negara memberikan kompensasi sesuai kemampuan negara. “Sebenarnya secara tidak langsung pemerintah telah memberikan kompensasi seperti dana kesehatan, hal yang sekecil ini sudah merupakan hal besar bagi korban,” ucapnya.

Sementara itu, Menteri Politik Hukum dan Keamanan Luhut Panjaitan yang membuka Simposium ini mengatakan tujuan digelarnya Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan sebagai pintu masuk penyelesaian kasus HAM di Indonesia. Menurut Luhut, sebagai bangsa yang besar, Indonesia perlu melihat kelemahan dan kekurangan yang ada serta berdamai dengan masa lalu untuk membangun masa depan bangsa yang lebih besar lagi.

“Katakanlah benar kalau itu benar. Katakanlah salah kalau itu salah. Kita harus berada dalam posisi bangsa besar. Jangan terus berburuk sangka,” ucapnya.

Namun, melalui simposium ini bukan berarti negara harus meminta maaf secara mutlak kepada korban tragedi 1965. Luhut berpendapat, perlu pembahasan terang tentang siapa saja korbannya. Oleh karena itu, simposium ini diharap bisa membuka tabir yang selama ini menyekat persatuan bangsa.

“Kami tahu apa yang akan kami lakukan. Ini yang terbaik untuk negara kami. Saya pertaruhkan kredibiltas saya agar simposium ini berjalan lancar,” ucapnya.

Gubernur Lemhanas yang juga menjadi Panitia Pengarah, Agus Widjojo mengatakan simposium ini menggunakan pendekatan sejarah. Itu dipilih karena sejarah lebih obejktif dan komperhensif tentang prolog dan epilog yang terjadi pada 1965.

“Jadi kita seperti memutar film mengenai peristiwa 65, kita akan mendengarkan apa yang terjadi sebelum peristiwa dan setelah peristiwa tersebut,” kata Agus.

Menurut dia peristiwa pembantaian besar itu, tidak turun tiba-tiba dari langit, ada sesuatu yang mendasarinya dan dilakukan secara sistemik. Agus pun mengatakan bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa melihat masa lalu dan mengakui kesalahanya. Hasil dari simposium ini akan menghasilkan rekomendasi bagi pemerintah untuk menyelesaikan tragedi tersebut. “Forum ini bukan masalah benar atau salah. Tapi berbagi perbedaan versi kebenaran yang selama ini ada. Simposium ini berpusat pada proses rekonsiliasi,” ucapnya.

Forum pertama yang didukung oleh pemerintah itu menghadirkan banyak pihak bukan hanya dari korban, tetapi juga pejabat-pejabat yang sempat mengalami tragedi kelam tersebut. Tampak Sintong Panjaitan yang sempat memimpin penumpasan PKI di Jawa Tengah, Catherine Panjaitan, putri pahlawan revolusi DI Panjaitan, Svetlana, putri Njoto, petinggi PKI, Ilham Aidit, putra Ketua PKI, DN Aidit, dan beberapa pelaku sejarah lainnya.

***Sebagian dari tulisan ini pernah dimuat di http://www.pikiran-rakyat.com/ pada 18 April 2016***