← Back to portfolio

Potret Toleransi dari Palalangon

Published on

Mendengar nama Kabupaten Cianjur, mungkin ingatan kita langsung terpaut pada julukan Tatar Santri. Tak heran memang, mengingat kabupaten yang memiliki semboyan Gerbang Marhamah (Gerakan Masyarakat Berakhlakul karimah) ini sangat kental dengan nuansa keislaman. Namun, belum banyak yang tahu jika di Kabupaten Cianjur ada satu kampung yang di masyarakatnya sudah menanamkan toleransi sejak lama dan terbiasa hidup dalam kerukunan meski berbeda keyakinan. Kampung itu adalah Palalangon.

Terletak di Desa Kertajaya, Kecamatan Ciranjang, masyarakat Kampung Palalangon biasa hidup berdampingan di tengah keyakinan yang berbeda. Pasalnya, sejak tahun 1900-an, Kampung Palalangon dikenal sebagai kampung Kristen. Namun, adanya kemajemukan itu, tak lantas membuat masyarakat di sana berkonflik dan saling mencurigai satu sama lain.

“Toleransi umat beragama di wilayah ini sangat bagus. Dari dulu sudah terjalin seperti saudara. Dari cerita awalnya dulu, Muslim dan Kristen hidup berdampingan, sekolah bareng, main bareng, ya itu terbangun sampai saat ini,” kata Edward Muniran, salah satu anggota Majelis Jemaat Gereja Kristen Pasundan Palalangon ketika ditemui “PR”, Minggu (21/12/2014).

Bahkan, kata Edward, pada saat hari raya, masyarakat Muslim dan Kristen saling mengunjungi satu sama lain. Misalnya ketika perayaan Natal, masyarakat Muslim mengunjungi tetanganya yang Kristen, begitu juga sebaliknya ketika hari raya Idul Fitri, giliran umat Kristiani yang mengunjungi tetangganya yang Muslim.

“Ya itu berjalan natural saja, karena kami merasa bersaudara. Kalau kegiatan yang secara khusus diadakan bersama (antara komunitas Muslim dan Kristen) memang enggak ada. Setiap hari kami hidup berdampingan,” ucapnya.

Penuturan Edward dibenarkan oleh Erawan Marchasan. Sekretaris Desa Sindang Jaya yang bertetangga dengan Desa Kertajaya ini menuturkan masyarakat di Kampung Palalangon sedari dulu sudah memahami dan saling menyadari pentingnya arti toleransi. Erawan yang juga jemaat Gereja Kerasulan Pusaka Palalangon mengatakan, masyarakat pun sudah maklum ketika ada anggota keluarganya yang berbeda keyakinan.

“Dalam sebuah keluarga kadang ditemui perbedaan agama, dan kami menghormati keyakinan itu. Enggak saling mengganggu. Adik ipar saya pun mualaf,” ucapnya, Selasa (23/12/2014), seraya menuturkan masyarakat tak terbiasa dengan keyakinan yang dipaksakan. “Yang mualaf pun tanpa paksaan, begitu juga sebaliknya.”

Namun tak dimungkiri, jika singgungan pernah terjadi. Kendati begitu ketika ada riak-riak perbedaan, masyarakat yang diwakili oleh Majelis Ulama Indonesia dan Majelis Gereja dari tiga desa yakni Desa Sindangsari, Sindangjaya, dan Kertajaya langsung bermusyawarah untuk menyelesaikan masalah tersebut.

“Itu pernah terjadi, tapi selalu oknumnya orang luar yang kurang suka dengan kerukunan di Palalangon. Orang sininya mah baik-baik saja. Dan kami selalu menyelesaikan itu melalui musyawarah dan bisa diselesaikan dengan baik,” ucapnya seraya menuturkan Majelis Gereja adalah lembaga setingkat MUI yang menanungi aspirasi masyarakat Kristen. “Mungkin di Indonesia hanya ada di Palalangon.”

Masyarakat kedua belah pihak pun saling menghargai ketika ada hari-hari sakral keaagamaan. “Kalau bulan puasa, meski orang Kristen enggak akan ada yang berani makan di luar. Umat Islam juga gitu, kalau lebaran kan anak pesantren suka ada dulag (takbir keliling), ketika melewati kampung kristen ya mereka juga sopan,” ucapnya seraya menuturkan saat ini di Desa Sindangjaya ada 30 persen umat Kristiani dari 6.700-an penduduk.

“Kalau dulu kampung Kristen ini ada di satu Desa yakni Desa Gunung Batu. Karena ada pemekaran dari tahun 1975, kampung Kristen pun terbagi di tiga desa yakni Sindangsari, Sindangjaya, dan Kertajaya.”

Sementara itu, Asep Takmir, salah seorang pengurus Masjid Nurul Hidayah Kampung Palalangon mengakui masyarakat di kampungnya memang tak pernah membahas perbedaan-perbedaan prinsipil yang ada di antara mereka. Bahkan, Asep yang seorang mualaf pun tak pernah merasa diganggu mengerjakan keyakinannya di tengah keluarganya yang beragama Kristen.

“Keluarga mempersilakan saya mempelajari Islam. Saya masuk Islam pun bukan dengan paksaan, kemauan saya saja, dan kami tetap bisa hidup rukun walau berbeda keyakinan,” kata Asep yang sudah tiga tahun menganut agama Islam ini.

Situasi hidup rukun ini, juga diakui oleh Ustadz Ismail (32), pengasuh pondok pesantren Nurul Hidayah. Menurutnya mereka tak jarang melakukan kunjungan ke masyarakat Kristen begitu juga sebaliknya. “Kalau ada yang meninggal dari pihak manapun ya kami ikut melayat. Toleransi di sini berjalan dengan baik,” ucapnya.

Dirintis oleh Alkema

Keberadaan komunitas Kristen di Kampung Palalangon Desa Kertajaya Kecamatan Ciranjang dimulai jauh sejak tahun 1902. Menurut Oey Fery Chandra, salah seorang anggota Majelis Jemaat GKP Palalangon, dipilihnya Kampung Palalangon sebagai tempat untuk masyarakat Kristen pribumi dilakukan oleh seorang pengabar injil dari Belanda, BM Alkema. Saat itu, Kampung Palalangon masih berupa hutan yang belum banyak masyarakatnya.

“Jadi semua (warga pertama Palalangon) pendatang. Mereka dibawa Alkema dari Cikembar, Panghareupan berjumlah 21 orang. Palalangon sendiri artinya tempat yang tinggi atau mercusuar,” kata Fery.

Tak berselang lama, Alkema bersama beberapa orang pengikutnya mendirikan gereja Palalangon yang kini menjadi gereja tertua di Kampung tersebut. Setahun kemudian, yakni 1903, berdiri gereja lain yakni Gereja Kerasulan Pusaka di Rawaselang dan terus berkembang beberapa gereja baru sampai saat ini di Kecamatan Ciranjang seperti GKP Sindangjaya, GKP Ciranjang, Kerasulan Baru, Persekutuan Injili Eliezer, GPDL Pasirnangka, Gereja Pantekosta Ciranjang, GKI Ciranjang, Gereja Masehi Avent Hari Ketujuh, dan Gereja Persekutuan Oikumene Indonesia.

“Masyarakat pun semakin beragam karena ada pendatang baru seperti dari Bogor, Jakarta, atau suku-suku lain dari luar pulau Jawa seperti Batak, Talaud, Sangir, Ambon, an lain-lain,” ucapnya.

Menurut Fery sampai dekade 1980, umat Kristiani di Kampung Palalangon jumlahnya mencapai 100 persen. Namun kondisi ini bukan berarti mereka asing pada toleransi. Soalnya, tetangga kampung seperti Kampung Calincing atau Babakan Garut, sejak lama sudah mayoritas memeluk Islam. Barulah pada tahun 90-an, mulai masuk agama Islam di Kampung Palalangon.

“Walaupun dulu semua penduduk di sini Kristen tapi toleransi sudah terbangun sejak komunitas Kristen masuk ke sini. Pembangunan gereja Palalangon saja dulunya kan dibantu oleh saudara-saudara Muslim dari Kampung Calincing. Jadi begitu ada Islam masuk kami juga terbiasa walaupun memang ada penyesuaian. Yang penting jangan ada kebencian, karena kalau diawali dengan kebencian enggak akan bisa toleransi sekuat ini,” ucapnya.

Selain natal, masyarakat Kampung Palalangon juga memiliki tradisi turun temurun yakni panen raya yang digelar setiap bulan Agustus atau September. Perayaan ini dilakukan untuk memperingati ulang tahun gereja yang jatuh setiap tanggal 17 Agustus. “Karena khotbah pertama di Gereja Palalangon itu 17 Agustus 1902. Dalam acara ini kami juga undang semua masyarakat,” ucapnya.

Marga Sebagai Identitas

Kuburan Umat Kristiani di Kampung Palalangon, Desa Kertajaya, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur. Nama Marchasan dan Mestar adalah sebagian marga yang digunakan oleh penduduk Kampung Palalangon sebagai identitas keluarga.

Satu keunikan yang bisa kita temui ketika mengunjungi Kampung Palalangon adalah masyarakatnya yang menggunakan marga sebagai identitas. Soalnya, berbeda dengan suku Batak atau Ambon, penggunaan marga sebagai identitas di suku Sunda bukanlah hal yang lazim.

“Sistem kekerabatan ini yang sudah berlangsung lama. Kami menggunakan marga demi menjaga tradisi leluhur,” kata Erawan Marchasan.

Meski tak mengetahui jumlah pastinya, Erawan menuturkan, ada lebih dari 20 marga yang ada di Kampung Palalangon. Walaupun awalnya berasal dari komunitas Kristen, pada perkembangannya penggunaan marga ini juga digunakan oleh masyarakat Islam yang mualaf atau karena pernikahan.

“Jadi ke sininya udah bukan hanya Kristen lagi. Ini sudah tradisi di sini saja. Itu masih kuat,” ucapnya.

Menurut Fery Chandra, keberadaan marga ini sudah dimulai ketika komunitas Kristen pertama yang dibawa oleh Alkema masuk ke Palalangon. Ke 21 orang itu, bermarga Aliambar. Setelah makin banyak pendatang yang masuk dan bergabung di kampung Kristen Palalangon, marga pun semakin banyak dan datang dari pernikahan para generasi pertama tersebut.

“Beberapa marga kemudian muncul seperti Majiah, Marchasan, Dantji, Ipong, Saliin, Masad, Kaian, Mestar, Beck, dan lain sebagainya. Ini memudahkan kami mengenal leluhur,” kata Fery yang bermarga Oey.

***Tulisan ini pernah dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat pada Natal 2014***