← Back to portfolio

Tentang Kesunyian Sjahrir

Published on

"Katakan kepada Soekarno, Hatta, dan tuan-tuan panitia persiapan kemerdekaan itu. Aku menginginkan suatu proklamasi yang revolusioner!".

Teriakan itu menggema di Teater Salihara, Sabtu (18/8/2018) malam. Rendra Bagus Pamungkas yang memerankan sosok Sutan Sjahrir dalam Monolog Sutan Sjahrir menggambarkan keengganan keras Sjahrir menghadiri perumusan teks Proklamasi di rumah laksamana Maeda, 73 tahun silam yang dianggapnya tak pantas. Keengganan yang dia sampaikan pada Maroeto Nitimihardjo, yang dalam lakon ini digambarkan lewat suara yang direkam.

Ya, sosok Sjahrir memang tegas. Ideologinya seolah tak kenal kompromi. Perseteruan idenya dengan si Bung Besar memang punya sejarah panjang dan berlangsung alot. Beda dengan Hatta yang piawai mengambil jalan tengah --meski akhirnya bercerai kongsi juga--, maka Sjahrir seolah lebih memilih jalan sunyi yang sepi. Sebuah jalan yang digambarkan dengan baik dalam monolog besutan sutradara Rukman Rosadi dan penulis Ahda Imran ini.

Dibuka dengan perdebatan kecil antara Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, monolog ini mengajak penonton untuk memulai ceritanya saat Soekarno sebagai tokoh Partai Nasional Indonesia baru saja bebas dari masa penahanannya di Sukamiskin, Bandung. PNI yang dibubarkan oleh Belanda kala itu, dinilai Hatta dan Sjahrir perlu dihidupkan kembali sebagai partai kader yang mendidik bukan partai massa yang hanya mengkultuskan tokoh. Hal yang justru dianggap tak praktis oleh Soekarno.

"Mendidik rakyat supaya cerdas membutuhkan waktu bertahun-tahun, perjuangan yang bung berdua tempuh baru akan tercapai jika hari sudah kiamat," kata Soekarno.

Namun argumen Soekarno disanggah oleh Sjahrir: "Tanpa rakyat terdidik, kemerdekaan dan demokrasi hanya menjadi milik kaum feodal borjuis. Memperalat rakyat menjadi kuda tunggangan."

Cerita lantas mengalir pada panas dingin hubungan Soekarno-Sjahrir di era kemerdekaan. Soekarno menjadi presiden, sementara Sjahrir sempat menjabat sebagai perdana menteri pertama Indonesia. Hubungan yang saling mengisi antar keduanya meski kadang diwarnai perdebatan cara pandang. Sjahrir mengakui kalau kepiawain orasi Soekarno atas rakyat sangat berpengaruh sementara di sisi lain Soekarno membutuhkan Sjahrir untuk mengelola gelora yang dia sulut agar tak terlalu meluap dan malah merusak.

Namun hubungan keduanya perlahan merenggang pasca-Sjahrir membentuk Partai Sosialis Indonesia pada 1948 dan gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia pada 1955. Hubungan yang semakin keruh setalah kasus PRRI tahun 1958 sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960. Tahun 1962 hingga 1965, Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili. Di penjara bahkan Sjahrir diserang stroke. Penyakit yang kemudian mengakhiri usianya pada 9 April 1966 di Zurich, Swiss saat dalam pengobatan. Bagian yang digambarkan dalam dialog:

"Dan sekarang aku berada di rumah tahanan ini, berpisah dengan kebahagiaanku yang paling besar. Istriku, dan anak-anakku. Perpisahan yang membuatku merasa diseret ke ujung perjalanan, seperti di masa penjajahan dulu. Penjara dan pengasingan ini akan berlangsung panjang tanpa batas yang jelas, tanpa pengadilan. Dengan cara serupa (dengan Belanda) kini Soekarno menangkapku di negeriku yang sudah merdeka."

Kisah Cinta

Tak hanya tentang bebalnya idealisme Sjahrir tentang perlunya pembentukan partai massa yang mendidik, "Monolog Sutan Sjahrir" juga menceritakan berlikunya kisah asmara si Bung Kecil ini. Tentang pernikahannya dengan seorang Belanda, Maria Duchateau di Medan yang justru dicurigai sebagai pernikahan politis dan membuat keduanya harus kembali berpisah tak lama setelah menikah.
Kisah cinta ini tak kadung kandas. Karena meski berjauhan, Sjahrir tetap memendam rasa hingga bertahun-tahun kemudian rasa itu surut seiring pertemuannya dengan Siti Wahjunah, sekretaris pribadi yang sempat menolaknya.
Sjahrir seorang sosialis yang parlente juga digambarkan dengan baik lewat dialog: "Amsterdam, bioskop, teater, orkestra, bar, atau restoran para Bohemian, juga gadis-gadisnya, semua sama menggairahkannya dengan sosialisme dan perdebatan politik."

Monolog beralur maju mundur yang berdurasi sekitar satu jam ini juga piawai memainkan emosi penonton dengan penataan musik dan cahaya yang detil di setiap bagiannya. Musiknya juga menandai setiap setting tempat seperti memutar lagu lawas berbahasa Belanda di cerita pertemuan Sjahrir dan Hatta atau lagu lawas tentang Bandung di bagian perdebatan Soekarno, Sjahrir, dan Hatta.
Ahda Imran menyebut, Monolog ini adalah upaya mengingat Sjahrir dan mendengar kembali suara masa lalu tentang laku sebuah bangsa di tengah kemerdekaan yang berkaitan dengan pemaknaan kemanusiaan. "Bukankah apa yang sejak dulu dicemaskan Sjahrir itu kini sedang terjadi? Ketika politik identitas, sektarianisme menjadi kuda tunggangan politik," kata dia.

Sementara Rukman Rosadi menilai pementasan ini sebagai perenungan semangat dan pergulatan pikir seorang Sjahrir. "Mendengar seorang bapak berkisah tentang cinta, perselisihan "kecil" antarsahabat, tikungan nasib dan fragment tragedi dari drama besar sejarah bangsa ini," kata Rukman. (Muhammad Irfan/PR)